“Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi sesudah mengalami kematiannya, lihatlah Thalhah!”
Itu adalah ucapan Baginda Rasulullah SAW saat perang Uhud terjadi. Saat itu pasukan Muslim telah terpecah pelah sehigga hanya tersisa beberapa orang di antara mereka termasuk Thalhah bin Ubaidillah.
Kemudian Baginda Rasulullah dan kamum muslimin yang naik ke bukit dihadang oleh musuh. “Siapa yang berani melawan mereka dia akan menjadi temanku kelak di surga,” seru Rasulullah.
“Saya, wahai Rasulullah,” jawab Thalhah.
“Tidak, jangan engkau! Engkau harus tetap di tempatmu.”
“Saya, wahai Rasulullah,” kata seorang prajurit Anshar.
“Ya, majulah,” kata Baginda Rasulullah.
Prajurit Anshar itu maju melawan prajurit kafir yang ingin membunuh Rasulullah hingga menemui kesyahidannya. Rasulullah meneruskan perjalanan, tetapi dihadang kembali oleh tentara musyrikin.
“Siapa yang berani melawan mereka ini?” seru Rasulullah lagi.
“Saya, wahai Rasulullah,” kata Thalhah mendahului yang lain.
“Jangan, engkau tetaplah di tempatmu!”
“Lalu seorang prajurit Anshar menggantikannya. Begitu terus hingga 11 orang prajurit muslim menemui syahid. Tinggal Thalhah sendiri bersama Rasulullah. Hingga kemudian Rasululah memerintahkan kepada Thalhah, “Sekarang engkau, wahai Thalhah!”
Tanpa menunggu lagi, Thalhah pun maju menghadang musuh dan menghalau mereka agar tak bisa mendekati Rasulullah. Thalhah kembali ke dekat Rasulullah dan menaikkannya sedikit ke bukit. Disandarkannya tubuh Rasulullah yang mulia. Gigi taringnya patah, kening dan bibirnya sobek, darah mengucur dari muka beliau.
Sayyidina Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah menemui Rasulullah, tapi Rasulullah menyuruh mereka membantu Thalhah. Thalhah ditemukan dalam keadaan pingsan, tak kurang dari 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan lembing, dan lemparan panah memenuhi tubuhnya. Pergelangan tangannya putus sebelah. Darah segar mengucur dari tubuhnya. Semua orang mengira Thalhah sudah syahid karena luka para yang dideritanya, tapi ternyata ia masih hidup sehingga akhirnya Thalhah mendapat julukan “asy-syahidul al-hayyu” atau syahid yang masih hidup.
Sejak saat itu, jika ada yang membicarakan perang Uhud di depan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Abu Bakar selalu menyahut, “Perang hari itu adalah peperangan milik Thalhah seluruhnya.”
Seakan ingin menebus ketidakhadirannya pada perang Badar, Thalhah mempertaruhkan semuanya di perang Uhud. Sebab saat perang Badar terjadi dia dan Sayyidina Sa’id bin Zaid tengah diutus menjadi mata-mata di luar kota oleh Baginda Rasulullah. Meski demikian, Thalhah tetap mendapat ghanimah Badar.
Thalhah adalah seorang pemuda yang cerdas. Keislamannya berawal ketika ia tengah berjalan ke Syam dan bertemu dengan pendeta yang mengabarkan kedatangan Nabi terakhir, Muhammad SAW. Ia bercerita kepada Abu bakar yang kemudian mengantarkannya menemui Nabi Muhammad SAW.
Baginda Rasulullah menjelaskan apa itu Islam kepada Thalhah, dan dengan ringan Thalhah pun mengucap dua kalimat syahadat. Peristiwa keislaman Thalhah menjadi berita yang amat mengejutkan, terutama untuk keluarganya. Berbagai bujuk rayu dari keluarga dan kaumnya tak lagi dihiraukannya. Pendirian Thalhah tak dapat digoyahkan.
Thalhah dikenal sebagai orang yang jujur dan teguh pendirian. Sejak awal keislamannya, ia juga tak pernah ingkar janji dan dermawan. Pernah dia membawa pulang keuntungan dagang sebesar 700.000 dirham. Entah kenapa malamnya Thalhah gelisah, risau dan merasa tidak tenang. Istrinya sampai kebingungan melihatnya.
“Mengapa engkau gelisah, apa aku telah melakukan kesalahan padamu?”
“Tidak. Engkau tak melakukan kesalahan apapun, tapi memang ada yan mengganggu pikiranku. Pikiran seorang hamba yang tak tenang ingin memejamkan mata sedang ada harta bertumpuk di rumahnya.”
“Mengapa engkau sampai risau seperti itu. bukankah banyak yang membutuhkan pertolonganmu. Besok pagi engkau bagikan saja uang itu kepada orang yang membutuhkan.
“Semoga Allah merahmatimu. Sungguh engkau wanita yang mendapat taufik Allah,“ sahut Thalhah bahagia.
Akhirnya Thalhah membagikan uang tersebut kepada fakir miskin Anshar dan Muhajirin keesokan harinya. Ia tak merasa berhak memegang harta sebanyak itu meski itu adalah hasil keuntungan dagangnya. Pantas jika Rasulullah memberinya gelar Thalhah Al-Jaud (Thalhah yang pemurah) dan Thalhah Al-Fayyadh (atau Thalhah yang dermawan).
Sayyidina Thalhah syahid pada usia 60 tahun dalam peristiwa perang Jamal karena luka yang cukup dalam di kakinya. Atas semua kisah hidupnya yang tidak biasa, Thalhah menjadi salah satu orang yang dijamin masuk surga bersama 9 sahabat lainnya